Intellectual Capital – Pengertian, Teori, Structural, Pengukuran – Seiring perkembangan jaman dan persaingan yang semakin ketat memacu perusahaan dan para pelaku bisnis untuk dapat meningkatkan keunggulan kompetitif agar bisa bertahan dan memenangkan persaingan usaha. Perusahaan dan para pelaku bisnis mulai menyadari bahwa kemampuan bersaing tidak hanya terletak pada kepemilikan aset berwujud, tetapi lebih pada inovasi, sistem informasi, pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu, organisasi bisnis semakin menitik beratkan akan pentingnya knowledge asset (aset pengetahuan) sebagai salah satu bentuk aset tak berwujud (Agnes, 2008).
Starovic et.al. (2003) menemukan bahwa pengetahuan telah menjadi mesin baru dalam pengembangan suatu bisnis. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran knowledge asset (aset pengetahuan) tersebut adalah Intellectual Capital (Petty dan Guthrie, 2000). Salah satu area yang menarik perhatian akademisi maupun praktisi adalah terkait dengan kegunaan Intellectual Capital sebagai salah satu alat untuk menentukan nilai perusahaan (Edvinsson dan Malone, 1997) dalam Ulum (2008).
Sumber daya terpenting perusahaan telah berganti dari aset berwujud menjadi Intellectual Capital atau modal intelektual yang didalamnya terkandung satu elemen penting yaitu daya pikir atau pengetahuan. Sesuai dengan pendapat Stewart (1997), Tan et al. (1997) dan Guthrie (2001) menyatakan bahwa perkembangan “ekonomi baru” didorong oleh informasi dan pengetahuan (2000), menyebabkan meningkatnya perhatian pada Intellectual Capital.
Manfaat dari Intellectual Capital sebagai alat untuk menentukan nilai perusahaan telah menarik perhatian sejumlah akademisi dan praktisi (Tan et al., 2007; Guthrie, 2001). Peranan Intellectual Capital semakin strategis, bahkan akhir-akhir ini memiliki peran kunci dalam upaya melakukan lompatan peningkatan nilai di berbagai perusahaan. Hal ini disebabkan adanya kesadaran bahwa Intellectual Capital merupakan landasan bagi perusahaan untuk unggul dan bertumbuh.
Kesadaran ini antara lain ditandai dengan semakin seringnya istilah knowledge based company muncul dalam wacana bisnis. Istilah tersebut ditujukan terhadap perusahaan yang lebih mengandalkan pengelolaan Intellectual Capital sebagai sumber daya dan longterm growth-nya. Knowledge based company adalah perusahaan yang diisi oleh komunitas yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan. Ciri lainnya adalah perusahaan ini lebih mengandalkan pengetahuan dalam mempertajam daya saingnya, yaitu dengan lebih berinvestasi di bidang Intellectual Capital.
Sebagai akibatnya, nilai dari knowledge based company utamanya ditentukan oleh Intellectual Capital yang dimiliki dan dikelolanya. Pentingnya Intellectual Capital ditegaskan oleh Abidin (2000) dalam Sawarjuwono (2003) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia akan dapat bersaing apabila menggunakan keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui inovasi-inovasi kreatif yang dihasilkan oleh Intellectual Capital perusahaan.


Pengertian Intellectual Capital
Intellectual capital “modal intelektual” ialah asset tidak berwujud berupa sumber daya informasi serta pengetahuan yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan bersaing serta dapat meningkatkan kinerja perusahaan.
Menurut International Federation of Accountan “IFAC” terdapat beberapa istilah yang hampir mirip dengan intellectual capital, antara lain intellectual property, intelektual aset, kowledge asset yang semuanya bermaksud sebagai saham atau modal yang berbasis pada pengetahuan yang dimiliki perusahaan “Widyaningrum, 2004”.
Karakteristika Intellectual Capital
Menurut Sangkala, intellectual capital memiliki karakteristik sebagai berikut “Agustina, 2007”:
- Non Rivalrous, artinya sumber daya tersebut dapat digunakan secara berkelanjutan oleh berbagai macam pemakai didalam lokasi yang berbeda dan pada saat yang bersamaan.
- Increasing Return artinya mampu menghasilkan peningkatan keuntungan margin perincremental unit dari setiap investasi yang dilakukan.
- Not Additive artinya nilai yang tercipta bisa terus-menerus meningkat tanpa mengurangi unsur pokok dari sumber daya tersebut karena sumber daya ini ialah codependent dalam penciptaan nilai.
Pengukuran Intellectual Capital
Metode VAIC “Value Added Intellectual Coefficient” didesain untuk menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud “tangible asset” dan aset tidak berwujud “intangible assets” yang dimiliki perusahaan. VAIC merupakan instrument untuk mengukur kinerja intellectual capital perusahaan. Metode ini untuk mengukur seberapa dan bagaimana efisiensi intellectual capital dan capital employed dalam menciptakan nilai berdasarkan pada hubungan tiga komponen utama yaitu 1. Human capital, 2. Capital employed, 3. Structural capital.
Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added “VA”. Value added ialah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai “value creation”. VA dihitung sebagai selisih antara ouput dan input, Output “OUT” merepresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input “IN” mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue.
Hal penting dalam model ini ialah bahwa beban karyawan “labour expense” tidak termasuk dalam IN. Karena peran aktifnya dalam proses value creation, intellectual potential “yang direpresentasikan dengan labour expense” tidak dihitung sebagai biaya “cost” dan tidak masuk dalam komponen IN. Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai “value creating entity” “Ulum, 2013:192”.
Proses value creation dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital “HC”, Capital Employed “CE” dan Structural Capital “SC”:
Value Added Of Capital Employed “VACA”
Value Added of Capital Employed “VACA” ialah indikator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Pulic “1998” mengasumsikan bahwa jika i unit dari CE “Capital Employed” menghasilkan return yang lebih besar dari pada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan “Intellectual Capital” IC yang lebih baik merupakan bagian dari “Intellectual Capital” IC perusahaan.
Value Added Human Capital “VAHU”
Value Added Human Capital “VAHU” menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dengan HC mengindikasikan kemampuan HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan.
Structural Capital Value Added “STVA”
Structural Capital Value Added “STVA” menunjukkan kontribusi structural capital “SC” dalam penciptaan nilai. STVA mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC bukanlah ukuran yang idependen sebagaimana HC dalam proses penciptaan nilai. Artinya semakin besar, kontribusi HC dalam value creation, maka akan semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic menyatakan bahwa SC ialah VA dikurangi HC.
Para praktisi dan peneliti menyatakan bahwa Intellectual Capital terdiri dari tiga elemen utama (Stewart, 1998; Sveiby, 1997; Saint-Onge, 1996; Bontis, 2000 dalam Sawarjuwono 2003) yaitu :
Human Capital (modal manusia)
Human Capital merupakan lifeblood dalam Intellectual Capital. Disinilah sumber innovation dan improvement,tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. (Brinker, 2000) memberikan beberapa karakteristik dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu training programs, credential, experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual potential and personality.
Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi)
Structural Capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses manufacturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka Intellectual Capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Relational Capital
Elemen ini merupakan komponen Intellectual Capital yang memberikan nilai secara nyata. Relational Capital merupakan hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational Capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut.
Beberapa pakar seperti Annie Brooking, Goran Roos, Thomas Stewart dan Nick Bontis mencoba mendefinisikan dan membuat konsep mengenai Intellectual Capital. Brooking (USA) membagi konsep Intellectual Capital menjadi human centerd asset, infrastructure asset, intellectual property dan market asset. Goran Ross (UK) membagi konsep Intellectual Capital menjadi human capital, organitational capital, renewal and develop, dan relational capital. Stewart (USA) membagi Intellectual Capital menjadi human capital, structur capital, dan customer capital. Sedangkan Bontis (Canada) membagi Intellectual Capital menjadi human capital, structural capital, intellectual property, dan relational capital.
Sehingga dapat diketahui bahwa keempat penulis sangat menekankan pentingnya human capital. Brooking, khususnya, merasa bahwa keterampilan manajerial dan gaya kepemimpinan merupakan komponen penting dari human capital. Brooking juga menunjukkan bahwa struktur modal dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu infrastructure assets dan intellectual property (IP) (Bontis et al., 2000).
Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan dalam hal infrastructure asset, Brooking telah memasukkan semua teknologi dan proses yang memungkinkan sebuah perusahaan berfungsi. Roos telah menambahkan pentingnya budaya. Stewart mengklasifikasikan teknologi informasi dalam kategori ini. Brooking, Roos dan Stewart telah menyertakan merk dagang dan hak paten, sedangkan Bontis, telah mengecualikan Intellectual Property, Bontis menyatakan bahwa Intellectual Property adalah aset yang dilindungi dan memiliki definisi hukum (tidak seperti komponen lain dari Intellectual Capital). Perbandingan konsep Intellectual Capital didasarkan pada studi oleh Annie Brooking, Goran Roos, Thomas Stewart dan Nick Bontis dapat digambarkan dalam Tabel.
Perbandingan Konsep Intellectual Capital Menurut Beberapa Peneliti
Intellectual Capital dan Aset Tak Berwujud
Secara historis, pembedaan antara aset tidak berwujud dengan Intellectual Capital tidak jelas, karena disebut sebagai “goodwill” (Tan et al., 2007; Kuryanto, 2008). Hal ini dapat ditelusuri kembali ke awal 1980-an ketika pendapat umum nilai aset tak berwujud, yang sering disebut sebagai goodwill, mulai muncul di bidang akuntansi dan praktik bisnis (International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007). Namun, praktik akuntansi tradisional tidak menyediakan identifikasi dan pengukuran aset tidak berwujud ini pada organisasi, terutama organisasi berbasis pengetahuan (International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007; Tan et al., 2007).
Intangible asset baru seperti kompetensi staf, hubungan pelanggan, dan sistem administrasi tidak memperoleh pengakuan dalam model keuangan tradisional dan pelaporan manajemen (Stewart, 1997 dalam Tan et al., 2007). Hal ini sangat menarik karena bahkan intangible asset tradisional seperti brand equity, paten dan goodwill tetap jarang dilaporkan dalam laporan keuangan (International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al. 2007; Tan et al., 2007).
Faktanya, IAS (International Accounting Standard) 38 tentang Intangible Assets atau Aset Tak Berwujud melarang pengakuan merk internal seperti publishing titles, mastheads dan daftar pelanggan (International Accounting Standards Board, 2004). Pada tahun 1990-an, perhatian terhadap praktik pengelolaan aset tidak berwujud (intangible assets) telah meningkat secara dramatis (Harrison dan Sullivan, 2000).
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran aset tidak berwujud tersebut adalah Intellectual Capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang, baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan Guthrie, 2000; Sullivan dan Sullivan, 2000). Menurut International Federation of Accountants (IFAC), Intellectual Capital sinonim dengan intellectual property (kekayaan intelektual), intellectual asset (aset intelektual), dan knowledge asset (aset pengetahuan). Modal ini dapat diartikan sebagai modal yang berbasis pada pengetahuan yang dimiliki perusahaan.
Di Indonesia sendiri, fenomena Intellectual Capital mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aset tidak berwujud. Menurut PSAK No. 19, aset tidak berwujud adalah aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif.
Pengukuran Intellectual Capital
Salah satu persoalan penting yang dihadapi adalah bagaimana mengukur aset tak berwujud atau Intellectual Capital. Hal ini berlawanan dengan meningkatnya kesadaran pengakuan intellectual capital dalam mendorong nilai dan keunggulan kompetitif perusahaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengukuran yang tepat terhadap Intellectual Capital perusahaan belum dapat ditetapkan. Ada banyak konsep pengukuran Intellectual Capital yang dikembangkan oleh para peneliti saat ini, dan salah satunya adalah model yang dikembangkan oleh Pulic.
Pulic (1998, 2000) dalam Tan et al. (2007) mengembangkan “Value Added Intellectual Coefficient” (VAIC™ ) untuk mengukur IC perusahaan. Metode VAIC™ dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai dari aset berwujud dan tidak berwujud yang dimiliki sebuah perusahaan. Komponen utama dari VAIC™ dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA – value added capital employed), human capital (VAHU – value added human capital), dan structural capital (STVA – structural capital value added). Lebih lanjut Pulic (1998) menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAIC™) menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential) telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan.
Penelitian mengenai hubungan VAIC™ dengan kinerja keuangan telah dibuktikan secara empiris oleh Firer dan Williams (2003) yang datanya diperoleh dari 75 perusahaan publik dari 4 jenis industri di Afrika Selatan. Chen et al. (2005) melakukan hal yang sama dengan menggunakan sampel publik di Taiwan tetapi menambahkan variabel R&D (research and development) dan advertising expenditure dalam penelitiannya.
Mavridis (2004) dan Kamath (2007) memilih khusus sektor perbankan masing-masing di Jepang dan India sebagai sampel. Tan et al. (2007) menggunakan 150 perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock Exchange sebagai sampel penelitian yang diklasifikasikan dalam 4 jenis industri. Terakhir, penelitian oleh Maheran (2009) berdasarkan data dari 18 perusahaan yang berada di sektor keuangan pada tahun 2007 di Malaysia yang juga menginvestigasi efisiensi IC terhadap kinerja perusahaan.
Chen et al. (2005) menggunakan model Pulic (VAIC™) untuk menguji hubungan antara Intellectual Capital dengan nilai pasar dan kinerja keuangan, dimana hasilnya menunjukkan bahwa Intellectual Capital berpengaruh secara positif terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan. Sementara penelitian yang dilakukan Tan et al. (2007) di Bursa Efek Singapore menunjukkan bahwa Intellectual Capital berhubungan secara positif dengan kinerja perusahaan di masa mendatang. Temuan Tan et al. (2005) tersebut selaras dengan penelitian Bontis (2001) dan Belkaoui (2003) yang menyatakan bahwa Intellectual Capital berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Di Indonesia, penelitian tentang Intellectual Capital diantaranya telah dilakukan oleh Ulum (2008) yang berhasil membuktikan bahwa: (1) IC berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan, (2) IC berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masa depan. Berbeda dengan penelitian-penelitian diatas, penelitian Firer dan Williams (2003) serta Kuryanto (2008) menunjukkan hasil yang berbanding terbalik yaitu tidak ada pengaruh positif antara IC dengan kinerja keuangan perusahaan.
Praktik akuntansi konservatisma menekankan bahwa investasi perusahaan dalam Intellectual Capital yang disajikan dalam laporan keuangan, dihasilkan dari peningkatan selisih antara nilai pasar dan nilai buku. Jadi, jika misalnya pasarnya efisien, maka investor akan memberikan nilai yang tinggi terhadap perusahaan yang memiliki Intellectual Capital lebih besar (Belkaoui, 2003; Firer dan Williams, 2003). Physical capital sebagai bagian dari Intellectual Capital menjadi sumber daya yang menentukan kinerja perusahaan. Selain itu, jika Intellectual Capital merupakan sumberdaya yang terukur untuk peningkatan competitive advantages, maka Intellectual Capital akan memberi kontribusi terhadap kinerja perusahaan (Abdolmohammadi, 2005).
Demikianlah pembahasan mengenai Intellectual Capital – Pengertian, Teori, Structural, Pengukuran semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua,, terima kasih banyak atas kunjungannya.